Jumat, 30 September 2011
wacana pemanfaatan bahasa indonesia pada tataran non ilmiah
si kancil dan siput
Pada suatu hari si kancil nampak ngantuk sekali. Matanya serasa berat sekali untuk dibuka. “Aaa....rrrrgh”, si kancil nampak sesekali menguap. Karena hari itu cukup cerah, si kancil merasa rugi jika menyia-nyiakannya. Ia mulai berjalan-jalan menelusuri hutan untuk mengusir rasa kantuknya. Sampai di atas sebuah bukit, si Kancil berteriak dengan sombongnya, “Wahai penduduk hutan, akulah hewan yang paling cerdas, cerdik dan pintar di hutan ini. Tidak ada yang bisa menandingi kecerdasan dan kepintaranku”.
si kancil dan siputSambil membusungkan dadanya, si Kancil pun mulai berjalan menuruni bukit. Ketika sampai di sungai, ia bertemu dengan seekor siput. “Hai kancil !”, sapa si siput. “Kenapa kamu teriak-teriak? Apakah kamu sedang bergembira?”, tanya si siput. “Tidak, aku hanya ingin memberitahukan pada semua penghuni hutan kalau aku ini hewan yang paling cerdas, cerdik dan pintar”, jawab si kancil dengan sombongnya.
“Sombong sekali kamu Kancil, akulah hewan yang paling cerdik di hutan ini”, kata si Siput. “Hahahaha......., mana mungkin” ledek Kancil. “Untuk membuktikannya, bagaimana kalau besok pagi kita lomba lari?”, tantang si Siput. “Baiklah, aku terima tantanganmu”, jawab si Kancil. Akhirnya mereka berdua setuju untuk mengadakan perlombaan lari besok pagi.
Setelah si Kancil pergi, si siput segera mengumpulkan teman-temannya. Ia meminta tolong agar teman-temannya berbaris dan bersembunyi di jalur perlombaan, dan menjawab kalau si kancil memanggil.
Akhirnya hari yang dinanti sudah tiba, kancil dan siput pun sudah siap untuk lomba lari. “Apakah kau sudah siap untuk berlomba lari denganku”, tanya si kancil. “Tentu saja sudah, dan aku pasti menang”, jawab si siput. Kemudian si siput mempersilahkan kancil untuk berlari dahulu dan memanggilnya untuk memastikan sudah sampai mana si siput.
Kancil berjalan dengan santai, dan merasa yakin kalau dia akan menang. Setelah beberapa langkah, si kancil mencoba untuk memanggil si siput. “Siput....sudah sampai mana kamu?”, teriak si kancil. “Aku ada di depanmu!”, teriak si siput. Kancil terheran-heran, dan segera mempercepat langkahnya. Kemudian ia memanggil si siput lagi, dan si siput menjawab dengan kata yang sama.”Aku ada didepanmu!”
Akhirnya si kancil berlari, tetapi tiap ia panggil si siput, ia selalu muncul dan berkata kalau dia ada depan kancil. Keringatnya bercucuran, kakinya terasa lemas dan nafasnya tersengal-sengal.
Kancil berlari terus, sampai akhirnya dia melihat garis finish. Wajah kancil sangat gembira sekali, karena waktu dia memanggil siput, sudah tidak ada jawaban lagi. Kancil merasa bahwa dialah pemenang dari perlombaan lari itu.
Betapa terkejutnya si kancil, karena dia melihat si siput sudah duduk di batu dekat garis finish. “Hai kancil, kenapa kamu lama sekali? Aku sudah sampai dari tadi!”, teriak si siput. Dengan menundukkan kepala, si kancil menghampiri si siput dan mengakui kekalahannya. “Makanya jangan sombong, kamu memang cerdik dan pandai, tetapi kamu bukanlah yang terpandai dan cerdik”, kata si siput. “Iya, maafkan aku siput, aku tidak akan sombong lagi”, kata si kancil.
wacana pemanfaatan bahasa Indonesia pada tataran semi ilmiah
kunang - kunang di langit Jakartaia kembali ke kota ini karena kunang-kunang dan kenangan. Padahal, ia berharap menghabiskan liburan musim panas di Pulau Galapagos—meski ia tahu, kekasihnya selalu mengunjungi pulau itu bukan karena alasan romantis, tapi karena kura-kura. Kura-kura itu bernama George.
Mata Peter akan berbinar setiap menceritakannya. Ia termasuk keturunan langsung spesies kura-kura yang diamati Charles Darwin ketika merumuskan teori evolusinya pada abad ke-19. Berapa kali ia sudah mendengar Peter mengatakan itu? Kau harus melihat sendiri, betapa cakepnya kura-kura itu. Ia botak dan bermata besar. Ia tua dan kesepian memang. Namun, sebentar lagi ia akan punya keturunan.
Ada benarnya juga kelakar teman- temannya. ”Kau tahu, Jane, itulah risiko punya pacar zoologist. Kamu harus lebih dulu menjadi primata yang menarik untuk membuatnya tertarik bercinta denganmu.”
”Justru itulah untungnya. Aku tak perlu cemas. Karena Peter lebih tertarik memperhatikan binatang langka ketimbang perempuan berambut pirang.” Dan ia tertawa walau sebenarnya merasa konyol bila menyadari: betapa ia mesti berebut perhatian kekasihnya, justru dengan binatang-binatang langka seperti itu.
Peter pernah cerita perihal burung bulbul langka yang berhasil ditemukannya bersama rombongan peneliti Worldwide Conservation Society di perbukitan kapur dataran rendah Laos; penemuan yang menurut Peter begitu menakjubkan, karena belum pernah dalam 100 tahun terakhir ditemukan spesies baru di Asia. Kau tahu, kicau burung bulbul itu jauh lebih merdu dari burung bulbul dalam dongeng HC Andersen. Bulu-bulunya hijau mengilap. Peter pernah pula bercerita tentang kucing emas yang misterius dan tak mungkin dijumpai, tapi ia berhasil melihatnya di pegunungan Tibet, sedang melesat memanjat pepohonan dengan gerakan yang bagai terbang.
Setiap saat ada kesempatan mereka bertemu—saat mereka seharusnya menghabiskan setiap menit dengan bercinta—kekasihnya justru sibuk bicara soal katak berwarna ungu yang ditemukannya di Suriname, kumbang tahi, kadal tanpa kaki, duiker merah, galago kerdil, mokole mbembe di Sungai Zambeze, sejenis tikus bermoncong panjang yang disebutnya Zanzibar, burung Akalat Ukwiva—dan entah nama-nama aneh apa lagi—sampai obsesinya menemukan spesies putri duyung yang diyakininya masih hidup di perairan Kiryat Yam, Israel. Aku akan menjadi orang kedua setelah Richard Whitbourne, kapten kapal yang pada tahun 1610 pernah melihat putri duyung di pelabuhan Newfoundland St James….
Langit mulai menggelap dan keriuhan kendaraan yang memadati Horrison Street menyelusup masuk Café Gratitude. Jane Jeniffer ingat, tujuh tahun lalu, saat ia menikmati house lemonade di kafe ini, ia bertemu dengan Peter Bekoff, yang muncul dengan seekor iguana di pundaknya. Karena nyaris tak ada kursi kosong, laki-laki itu mendekati mejanya.
”Kau tahu, kenapa aku ke sini membawa iguana? Karena kalau aku datang bersama Jennifer Lopez pasti kafe ini seketika dipenuhi paparazi, dan kau tak bisa dengan tenang menikmati house lemonade-mu itu…”
Entahlah, kenapa saat itu, ia menganggap lucu kata-kata itu. Mungkin itulah sebabnya, sering kita kangen pada saat-saat pertemuan pertama. Kita memang ingin selalu mengulang kenangan.
***
”Bukankah kau ingin melihat kunang-kunang?”
Dulu, semasa kanak, ia memang pernah terpesona dengan makhluk yang bagai hanya ada dalam buku-buku dongeng. Di San Francisco yang hiruk pikuk, tempat ia tinggal sejak kanak-kanak, ia tak pernah melihat kunang-kunang secara langsung. Ia melirik Peter yang begitu asyik memandangi kunang-kunang yang disimpannya dalam stoples. Cahaya kuning kehijauannya membias pucat.
”Ini kunang-kunang istimewa, bukan golongan Lampyridae pada umumnya. Para penduduk setempat percaya, kunang-kunang ini berasal dari roh penasaran. Roh para perempuan yang diperkosa….”
Saat menyadari Jane tak terlalu memperhatikan kunang-kunang itu dan lebih sering memandangi langit muram San Francisco yang membayang di jendela, Peter menyentuh lengannya. ”Percayalah, di sana, nanti kau akan menjumpai langit yang megah dipenuhi jutaan kunang-kunang.” Lalu suaranya nyaris lembut, ”Dan kita bercinta di bawahnya….”
Tapi ia tak merasa kunang-kunang itu istimewa, seperti dikatakan Peter. Mungkin karena saat itu, ia memendam kekecewaan, sebab tahu bahwa pada akhirnya Peter tak akan mengajaknya menikmati kehangatan Pulau Galapagos, tetapi ke kota yang panas dan bising ini.
Ini jelas bukan kota yang ada dalam daftar yang ingin dikunjunginya pada musim libur. Peter membawanya ke permukiman padat kota tua tak terawat. Banyak toko kosong terbengkalai, dan rumah-rumah gosong bekas terbakar yang dibiarkan nyaris runtuh. ”Di gedung-gedung gosong itulah para kunang-kunang itu berkembang biak,” ujar Peter. Padahal, sebelumnya ia membayangkan hutan tropis eksotis, atau hamparan persawahan, di mana ribuan kunang-kunang beterbangan. Peter seperti abai pada kedongkolannya, sibuk mengeluarkan kamera, fotograf dan beberapa peralatan lain dari ranselnya.
Ia menunggu tak jenak. Ketika senja yang muram makin menggelap, dalam pandangannya gedung-gedung yang gosong itu seperti makhluk-makhluk ganjil yang rongsok dan bongkok, menanggung kepedihan. Dan dari ceruk gelap gedung-gedung itu seperti ada puluhan mata yang diam-diam manatapnya. Seperti ada yang hidup dan berdiam dalam gedung-gedung kelam itu. Lalu ia melihat kerlip lembut kekuningan, terbang melayang-layang.
”Lihat,” Peter menepuk pundaknya. ”Mereka mulai muncul. Kunang-kunang itu….”
Itulah detik-detik yang kemudian tak akan pernah ia lupakan dalam hidupnya. Ia menyaksikan puluhan kunang-kunang menghambur keluar dari dalam gedung-gedung gosong itu. Mereka melayang-layang rendah, seakan ada langkah-langkah gaib yang berjalan meniti udara. Puluhan kunang-kunang kemudian berhamburan seperti gaun yang berkibaran begitu anggun. Beberapa kunang-kunang terbang berkitaran mendekatinya.
”Pejamkan matamu, dan dengarkan,” bisik Peter. ”Kunang-kunang itu akan menceritakan kisahnya padamu….”
Ia merasakan keheningan yang membuatnya pelan-pelan memejamkan mata, sementara Peter dengan hati-hati menyiapkan micro-mic, yang sensor lembutnya mampu merekam gelombang suara paling rendah—menurut Peter alat itu bisa menangkap suara-suara roh, biasa digunakan para pemburu hantu. Keheningan itu seperti genangan udara dingin, yang berlahan mendesir. Pendengarannya seperti kelopak bunga yang merekah terbuka; geletar sayap kunang-kunang itu, melintas begitu dekat di telinganya, seperti sebuah bisikan yang menuntunnya memasuki dunia mereka. Ia terus memejam, mendengarkan kudang-kunang itu bercerita.
”Lihatlah api yang berkobar itu. Setelah api itu padam, orang-orang menemukan tubuhku hangus tertimbun reruntuhan….”
Suara itu, suara itu menyelusup lembut dalam telinganya. Dan ia seperti menyaksikan api yang melahap pusat perbelanjaan itu. Menyaksikan orang- orang yang berteriak-teriak marah dan menjarah. Ia menyaksikan seorang perempuan berkulit langsat diseret beberapa lelaki kekar bertopeng. Asap hitam membubung. Beberapa orang melempar bom molotov ke sebuah toko, kemudian kabur mengendarai sepeda motor. Api makin berkobar. Perempuan itu menjerit dan meronta, diseret masuk ke dalam toko yang sudah ditinggalkan penghuninya.
”Lihatlah gedung yang gosong itu. Di situlah mereka memerkosa saya….”
”Mereka begitu beringas!”
”Mayat saya sampai sekarang tak pernah ditemukan.”
”Roh kami kemudian menjelma kunang-kunang….”
”Lihatlah… lihatlah….”
Ia melihat puluhan kunang-kunang terbang bergerombol, seperti rimbun cahaya yang mengapung di kehampaan kegelapan. Puluhan suara yang lirih terus menyelesup ke dalam telinganya. Ia merasakan tubuhnya perlahan mengapung, seperti hanyut terseret suara-suara itu.
”Ayo, ikutlah denganku. Ayolah, biar kau pahami seluruh duka kami….”
”Jane!!”
Ia dengar teriakan cemas.
”Jane!!”
Ada tangan menariknya, membuatnya tergeragap. Peter mengguncang bahunya, ”Jane! Kamu tak apa-apa?!” Suara-suara itu, perlahan melenyap. Tapi bagai ada yang tak akan pernah lenyap dalam hidupnya. Ia menatap kosong, seakan ada sebagian dirinya yang masih ada di sana. Seakan sebagian jiwanya telah dibawa dan terikat dengan kunang-kunang itu. Lalu ia lebih banyak diam, memandang takjub pada ribuan kunang-kunang yang muncul berhamburan dari gedung-gedung yang gosong, seperti muncul dari mulut goa. Semakin malam semakin bertambah banyak kunang-kunang memenuhi langit kota. Jutaan kunang-kunang melayang, seperti sungai cahaya yang perlahan mengalir dan menggenangi langit. Langit kota dipenuhi pijar cahaya hijau kekuningan yang berdenyut lembut; seperti kerlip bintang-bintang yang begitu rendah, dan kau bisa menyentuhnya.
Malam itu ia merasakan sentuhan dan pelukan Peter meresap begitu dalam. Ciuman-ciuman yang tak akan terlupakan. Ciuman-ciuman yang paling mengesankan di bawah hamparan cahaya kunang-kunang. Ciuman-ciuman yang selalu membawanya kembali ke kota ini dan kenangan.
***
Pertama kali, kunang-kunang itu terlihat muncul pertengahan tahun 2002, empat tahun setelah kerusuhan. Seorang penduduk melihatnya muncul dari salah satu gedung gosong itu. Makin lama, kunang-kunang itu makin bertambah banyak, terus berbiak, dan selalu muncul pertengahan tahun. Para penduduk kemudian percaya, kunang-kunang itu adalah jelmaan roh korban kerusuhan. Roh perempuan yang disiksa dan diperkosa. Orang-orang di sini memang masih banyak yang percaya, kalau kunang-kunang berasal dari kuku orang yang mati. Dari kuku orang mati itulah muncul kunang-kunang itu. Sering, orang-orang mendengar suara tangis muncul dari gedung-gedung gosong yang terbengkalai itu. Gedung-gedung itu seperti monumen kesedihan yang tak terawat.
Peter menceritakan semua itu, seolah-olah ia bukan zoologist. ”Sering kali ilmu pengetahuan tak mampu menjelaskan semua rahasia,” kata Peter, bisa menebak keraguannya. ”Bisakah kau menjelaskan apa yang barusan kau alami hanya dengan logika?”
Memang, ia hanya bisa merasakan, seperti ada yang ingin diceritakan oleh kunang-kunang itu padanya. Suara-suara gaib yang didengarnya itu seperti gema yang tak bisa begitu saja dihapuskan dari ingatannya. Ia percaya, segala peristiwa di dunia ini selalu meninggalkan gema. Seperti gema, mereka akan selalu kembali. Karena itulah ia pun kemudian selalu kembali ke kota ini. Untuk kunang-kunang dan kenangan.
Ia selalu terpesona menyaksikan jutaan kunang-kunang memenuhi langit kota. Langit menjelma hamparan cahaya kekuningan. Itulah satu-satunya pemandangan termegah yang selalu ingin ia nikmati kembali. Ia dan Peter suka sekali berbaring di atap gedung, menyaksikan berjuta-juta kunang-kunang itu memenuhi langit kota. Pada saat-saat seperti itu, sungguh, kau tak akan mungkin menemukan panorama langit yang begitu menakjubkan di belahan dunia mana pun, selain di kota ini.
”Kelak, bila aku mati, aku akan moksa menjelma kunang-kunang. Aku akan hidup dalam koloni kunang-kunang itu. Dan kau bisa selalu memandangiku ada di antara kunang-kunang itu….”
Saat itu, ia hanya tertawa mendengar omongan Peter. Semua menjadi berbeda ketika telah menjadi kenangan.
***
Ia tengah dalam perjalanan bisnis ke Louisville ketika menerima telepon itu: Peter meninggal dunia. Tepatnya lenyap. Beberapa orang bercerita menyaksikan tubuh Peter terjun dari puncak ketinggian gedung. Mungkin ia meloncat. Mungkin seseorang mendorongnya. Tubuh Peter yang meluncur itu mendadak menyala, bercahaya, kemudian pecah menjadi ribuan kunang-kunang. Penggambaran kematian yang terlalu dramatis, atau mungkin malah melankolis! Mungkin memang benar seperti itu. Tapi mungkin benar juga desas-desus itu: Peter dilenyapkan karena berusaha menghubung-hubungkan fenomena kunang-kunang itu dengan kerusuhan yang bertahun-tahun lalu terjadi di kota ini.
Dari tahun ke tahun populasi kunang-kunang itu memang makin meningkat. Kemunculan kunang-kunang yang memenuhi langit kota Jakarta menjadi fenomena yang luar biasa. Banyak yang kemudian menyebut sebagai salah satu keajaiban dunia. Menjadi daya tarik wisata. Setiap pertengahan Mei, saat jutaan kunang-kunang itu muncul dari reruntuhan gedung-gedung gosong—pemerintah daerah kemudian menetapkan gedung-gedung gosong itu menjadi cagar budaya dan wisata—banyak sekali turis yang datang menyaksikan. Para penduduk lokal bahkan telah menjadikannya sebagai acara tahunan. Mereka duduk menggelar tikar, mengadakan beberapa atraksi hiburan di sepanjang jalan, sembari menunggu malam ketika kunang-kunang itu memenuhi langit kota. Para pengunjung akan bersorak gembira ketika serombongan kunang-kunang muncul, terbang meliuk-liuk melintasi langit kota, dan berhamburan bagai ledakan kembang api. Betapa megah. Betapa indah.
Mata Jane selalu berkaca-kaca setiap kali menyaksikan itu; membayangkan Peter ada di antara jutaan kunang-kunang yang memenuhi langit Jakarta itu. Itulah sebabnya kunang-kunang dan kenangan selalu membuatnya kembali ke kota ini.
Ia tengah memandangi langit yang penuh kenang-kunang itu dengan mata berkaca-kaca, ketika seorang pengunjung di sampingnya berkata, ”Keindahan memang sering membuat kita sedih….”
Jane tersenyum. ”Saya tiba-tiba ingat peristiwa yang menyebabkan kunang-kunang itu muncul. Apakah Anda ingat peristiwa itu?”
Orang itu menggeleng. Jane tak terlalu kaget. Orang-orang di kota ini memang tak lagi mengingat peristiwa kerusuhan itu.
Mata Peter akan berbinar setiap menceritakannya. Ia termasuk keturunan langsung spesies kura-kura yang diamati Charles Darwin ketika merumuskan teori evolusinya pada abad ke-19. Berapa kali ia sudah mendengar Peter mengatakan itu? Kau harus melihat sendiri, betapa cakepnya kura-kura itu. Ia botak dan bermata besar. Ia tua dan kesepian memang. Namun, sebentar lagi ia akan punya keturunan.
Ada benarnya juga kelakar teman- temannya. ”Kau tahu, Jane, itulah risiko punya pacar zoologist. Kamu harus lebih dulu menjadi primata yang menarik untuk membuatnya tertarik bercinta denganmu.”
”Justru itulah untungnya. Aku tak perlu cemas. Karena Peter lebih tertarik memperhatikan binatang langka ketimbang perempuan berambut pirang.” Dan ia tertawa walau sebenarnya merasa konyol bila menyadari: betapa ia mesti berebut perhatian kekasihnya, justru dengan binatang-binatang langka seperti itu.
Peter pernah cerita perihal burung bulbul langka yang berhasil ditemukannya bersama rombongan peneliti Worldwide Conservation Society di perbukitan kapur dataran rendah Laos; penemuan yang menurut Peter begitu menakjubkan, karena belum pernah dalam 100 tahun terakhir ditemukan spesies baru di Asia. Kau tahu, kicau burung bulbul itu jauh lebih merdu dari burung bulbul dalam dongeng HC Andersen. Bulu-bulunya hijau mengilap. Peter pernah pula bercerita tentang kucing emas yang misterius dan tak mungkin dijumpai, tapi ia berhasil melihatnya di pegunungan Tibet, sedang melesat memanjat pepohonan dengan gerakan yang bagai terbang.
Setiap saat ada kesempatan mereka bertemu—saat mereka seharusnya menghabiskan setiap menit dengan bercinta—kekasihnya justru sibuk bicara soal katak berwarna ungu yang ditemukannya di Suriname, kumbang tahi, kadal tanpa kaki, duiker merah, galago kerdil, mokole mbembe di Sungai Zambeze, sejenis tikus bermoncong panjang yang disebutnya Zanzibar, burung Akalat Ukwiva—dan entah nama-nama aneh apa lagi—sampai obsesinya menemukan spesies putri duyung yang diyakininya masih hidup di perairan Kiryat Yam, Israel. Aku akan menjadi orang kedua setelah Richard Whitbourne, kapten kapal yang pada tahun 1610 pernah melihat putri duyung di pelabuhan Newfoundland St James….
Langit mulai menggelap dan keriuhan kendaraan yang memadati Horrison Street menyelusup masuk Café Gratitude. Jane Jeniffer ingat, tujuh tahun lalu, saat ia menikmati house lemonade di kafe ini, ia bertemu dengan Peter Bekoff, yang muncul dengan seekor iguana di pundaknya. Karena nyaris tak ada kursi kosong, laki-laki itu mendekati mejanya.
”Kau tahu, kenapa aku ke sini membawa iguana? Karena kalau aku datang bersama Jennifer Lopez pasti kafe ini seketika dipenuhi paparazi, dan kau tak bisa dengan tenang menikmati house lemonade-mu itu…”
Entahlah, kenapa saat itu, ia menganggap lucu kata-kata itu. Mungkin itulah sebabnya, sering kita kangen pada saat-saat pertemuan pertama. Kita memang ingin selalu mengulang kenangan.
***
”Bukankah kau ingin melihat kunang-kunang?”
Dulu, semasa kanak, ia memang pernah terpesona dengan makhluk yang bagai hanya ada dalam buku-buku dongeng. Di San Francisco yang hiruk pikuk, tempat ia tinggal sejak kanak-kanak, ia tak pernah melihat kunang-kunang secara langsung. Ia melirik Peter yang begitu asyik memandangi kunang-kunang yang disimpannya dalam stoples. Cahaya kuning kehijauannya membias pucat.
”Ini kunang-kunang istimewa, bukan golongan Lampyridae pada umumnya. Para penduduk setempat percaya, kunang-kunang ini berasal dari roh penasaran. Roh para perempuan yang diperkosa….”
Saat menyadari Jane tak terlalu memperhatikan kunang-kunang itu dan lebih sering memandangi langit muram San Francisco yang membayang di jendela, Peter menyentuh lengannya. ”Percayalah, di sana, nanti kau akan menjumpai langit yang megah dipenuhi jutaan kunang-kunang.” Lalu suaranya nyaris lembut, ”Dan kita bercinta di bawahnya….”
Tapi ia tak merasa kunang-kunang itu istimewa, seperti dikatakan Peter. Mungkin karena saat itu, ia memendam kekecewaan, sebab tahu bahwa pada akhirnya Peter tak akan mengajaknya menikmati kehangatan Pulau Galapagos, tetapi ke kota yang panas dan bising ini.
Ini jelas bukan kota yang ada dalam daftar yang ingin dikunjunginya pada musim libur. Peter membawanya ke permukiman padat kota tua tak terawat. Banyak toko kosong terbengkalai, dan rumah-rumah gosong bekas terbakar yang dibiarkan nyaris runtuh. ”Di gedung-gedung gosong itulah para kunang-kunang itu berkembang biak,” ujar Peter. Padahal, sebelumnya ia membayangkan hutan tropis eksotis, atau hamparan persawahan, di mana ribuan kunang-kunang beterbangan. Peter seperti abai pada kedongkolannya, sibuk mengeluarkan kamera, fotograf dan beberapa peralatan lain dari ranselnya.
Ia menunggu tak jenak. Ketika senja yang muram makin menggelap, dalam pandangannya gedung-gedung yang gosong itu seperti makhluk-makhluk ganjil yang rongsok dan bongkok, menanggung kepedihan. Dan dari ceruk gelap gedung-gedung itu seperti ada puluhan mata yang diam-diam manatapnya. Seperti ada yang hidup dan berdiam dalam gedung-gedung kelam itu. Lalu ia melihat kerlip lembut kekuningan, terbang melayang-layang.
”Lihat,” Peter menepuk pundaknya. ”Mereka mulai muncul. Kunang-kunang itu….”
Itulah detik-detik yang kemudian tak akan pernah ia lupakan dalam hidupnya. Ia menyaksikan puluhan kunang-kunang menghambur keluar dari dalam gedung-gedung gosong itu. Mereka melayang-layang rendah, seakan ada langkah-langkah gaib yang berjalan meniti udara. Puluhan kunang-kunang kemudian berhamburan seperti gaun yang berkibaran begitu anggun. Beberapa kunang-kunang terbang berkitaran mendekatinya.
”Pejamkan matamu, dan dengarkan,” bisik Peter. ”Kunang-kunang itu akan menceritakan kisahnya padamu….”
Ia merasakan keheningan yang membuatnya pelan-pelan memejamkan mata, sementara Peter dengan hati-hati menyiapkan micro-mic, yang sensor lembutnya mampu merekam gelombang suara paling rendah—menurut Peter alat itu bisa menangkap suara-suara roh, biasa digunakan para pemburu hantu. Keheningan itu seperti genangan udara dingin, yang berlahan mendesir. Pendengarannya seperti kelopak bunga yang merekah terbuka; geletar sayap kunang-kunang itu, melintas begitu dekat di telinganya, seperti sebuah bisikan yang menuntunnya memasuki dunia mereka. Ia terus memejam, mendengarkan kudang-kunang itu bercerita.
”Lihatlah api yang berkobar itu. Setelah api itu padam, orang-orang menemukan tubuhku hangus tertimbun reruntuhan….”
Suara itu, suara itu menyelusup lembut dalam telinganya. Dan ia seperti menyaksikan api yang melahap pusat perbelanjaan itu. Menyaksikan orang- orang yang berteriak-teriak marah dan menjarah. Ia menyaksikan seorang perempuan berkulit langsat diseret beberapa lelaki kekar bertopeng. Asap hitam membubung. Beberapa orang melempar bom molotov ke sebuah toko, kemudian kabur mengendarai sepeda motor. Api makin berkobar. Perempuan itu menjerit dan meronta, diseret masuk ke dalam toko yang sudah ditinggalkan penghuninya.
”Lihatlah gedung yang gosong itu. Di situlah mereka memerkosa saya….”
”Mereka begitu beringas!”
”Mayat saya sampai sekarang tak pernah ditemukan.”
”Roh kami kemudian menjelma kunang-kunang….”
”Lihatlah… lihatlah….”
Ia melihat puluhan kunang-kunang terbang bergerombol, seperti rimbun cahaya yang mengapung di kehampaan kegelapan. Puluhan suara yang lirih terus menyelesup ke dalam telinganya. Ia merasakan tubuhnya perlahan mengapung, seperti hanyut terseret suara-suara itu.
”Ayo, ikutlah denganku. Ayolah, biar kau pahami seluruh duka kami….”
”Jane!!”
Ia dengar teriakan cemas.
”Jane!!”
Ada tangan menariknya, membuatnya tergeragap. Peter mengguncang bahunya, ”Jane! Kamu tak apa-apa?!” Suara-suara itu, perlahan melenyap. Tapi bagai ada yang tak akan pernah lenyap dalam hidupnya. Ia menatap kosong, seakan ada sebagian dirinya yang masih ada di sana. Seakan sebagian jiwanya telah dibawa dan terikat dengan kunang-kunang itu. Lalu ia lebih banyak diam, memandang takjub pada ribuan kunang-kunang yang muncul berhamburan dari gedung-gedung yang gosong, seperti muncul dari mulut goa. Semakin malam semakin bertambah banyak kunang-kunang memenuhi langit kota. Jutaan kunang-kunang melayang, seperti sungai cahaya yang perlahan mengalir dan menggenangi langit. Langit kota dipenuhi pijar cahaya hijau kekuningan yang berdenyut lembut; seperti kerlip bintang-bintang yang begitu rendah, dan kau bisa menyentuhnya.
Malam itu ia merasakan sentuhan dan pelukan Peter meresap begitu dalam. Ciuman-ciuman yang tak akan terlupakan. Ciuman-ciuman yang paling mengesankan di bawah hamparan cahaya kunang-kunang. Ciuman-ciuman yang selalu membawanya kembali ke kota ini dan kenangan.
***
Pertama kali, kunang-kunang itu terlihat muncul pertengahan tahun 2002, empat tahun setelah kerusuhan. Seorang penduduk melihatnya muncul dari salah satu gedung gosong itu. Makin lama, kunang-kunang itu makin bertambah banyak, terus berbiak, dan selalu muncul pertengahan tahun. Para penduduk kemudian percaya, kunang-kunang itu adalah jelmaan roh korban kerusuhan. Roh perempuan yang disiksa dan diperkosa. Orang-orang di sini memang masih banyak yang percaya, kalau kunang-kunang berasal dari kuku orang yang mati. Dari kuku orang mati itulah muncul kunang-kunang itu. Sering, orang-orang mendengar suara tangis muncul dari gedung-gedung gosong yang terbengkalai itu. Gedung-gedung itu seperti monumen kesedihan yang tak terawat.
Peter menceritakan semua itu, seolah-olah ia bukan zoologist. ”Sering kali ilmu pengetahuan tak mampu menjelaskan semua rahasia,” kata Peter, bisa menebak keraguannya. ”Bisakah kau menjelaskan apa yang barusan kau alami hanya dengan logika?”
Memang, ia hanya bisa merasakan, seperti ada yang ingin diceritakan oleh kunang-kunang itu padanya. Suara-suara gaib yang didengarnya itu seperti gema yang tak bisa begitu saja dihapuskan dari ingatannya. Ia percaya, segala peristiwa di dunia ini selalu meninggalkan gema. Seperti gema, mereka akan selalu kembali. Karena itulah ia pun kemudian selalu kembali ke kota ini. Untuk kunang-kunang dan kenangan.
Ia selalu terpesona menyaksikan jutaan kunang-kunang memenuhi langit kota. Langit menjelma hamparan cahaya kekuningan. Itulah satu-satunya pemandangan termegah yang selalu ingin ia nikmati kembali. Ia dan Peter suka sekali berbaring di atap gedung, menyaksikan berjuta-juta kunang-kunang itu memenuhi langit kota. Pada saat-saat seperti itu, sungguh, kau tak akan mungkin menemukan panorama langit yang begitu menakjubkan di belahan dunia mana pun, selain di kota ini.
”Kelak, bila aku mati, aku akan moksa menjelma kunang-kunang. Aku akan hidup dalam koloni kunang-kunang itu. Dan kau bisa selalu memandangiku ada di antara kunang-kunang itu….”
Saat itu, ia hanya tertawa mendengar omongan Peter. Semua menjadi berbeda ketika telah menjadi kenangan.
***
Ia tengah dalam perjalanan bisnis ke Louisville ketika menerima telepon itu: Peter meninggal dunia. Tepatnya lenyap. Beberapa orang bercerita menyaksikan tubuh Peter terjun dari puncak ketinggian gedung. Mungkin ia meloncat. Mungkin seseorang mendorongnya. Tubuh Peter yang meluncur itu mendadak menyala, bercahaya, kemudian pecah menjadi ribuan kunang-kunang. Penggambaran kematian yang terlalu dramatis, atau mungkin malah melankolis! Mungkin memang benar seperti itu. Tapi mungkin benar juga desas-desus itu: Peter dilenyapkan karena berusaha menghubung-hubungkan fenomena kunang-kunang itu dengan kerusuhan yang bertahun-tahun lalu terjadi di kota ini.
Dari tahun ke tahun populasi kunang-kunang itu memang makin meningkat. Kemunculan kunang-kunang yang memenuhi langit kota Jakarta menjadi fenomena yang luar biasa. Banyak yang kemudian menyebut sebagai salah satu keajaiban dunia. Menjadi daya tarik wisata. Setiap pertengahan Mei, saat jutaan kunang-kunang itu muncul dari reruntuhan gedung-gedung gosong—pemerintah daerah kemudian menetapkan gedung-gedung gosong itu menjadi cagar budaya dan wisata—banyak sekali turis yang datang menyaksikan. Para penduduk lokal bahkan telah menjadikannya sebagai acara tahunan. Mereka duduk menggelar tikar, mengadakan beberapa atraksi hiburan di sepanjang jalan, sembari menunggu malam ketika kunang-kunang itu memenuhi langit kota. Para pengunjung akan bersorak gembira ketika serombongan kunang-kunang muncul, terbang meliuk-liuk melintasi langit kota, dan berhamburan bagai ledakan kembang api. Betapa megah. Betapa indah.
Mata Jane selalu berkaca-kaca setiap kali menyaksikan itu; membayangkan Peter ada di antara jutaan kunang-kunang yang memenuhi langit Jakarta itu. Itulah sebabnya kunang-kunang dan kenangan selalu membuatnya kembali ke kota ini.
Ia tengah memandangi langit yang penuh kenang-kunang itu dengan mata berkaca-kaca, ketika seorang pengunjung di sampingnya berkata, ”Keindahan memang sering membuat kita sedih….”
Jane tersenyum. ”Saya tiba-tiba ingat peristiwa yang menyebabkan kunang-kunang itu muncul. Apakah Anda ingat peristiwa itu?”
Orang itu menggeleng. Jane tak terlalu kaget. Orang-orang di kota ini memang tak lagi mengingat peristiwa kerusuhan itu.
wacana pemanfaatan bahasa Indonesia pada tataran ilmiah
Tren Penularan HIV/AIDS Beralih Pada Heteroseksual
Sejak tahun 2008, tren penularan HIV/AIDS beralih yaitu dari pecandu narkoba menjadi perilaku heteroseksual. Dari perilaku heteroseksual tersebut, jumlah laki-laki positif HIV/AIDS lebih tinggi ketimbang wanita, dengan usia dominan yaitu 20-29 tahun.
Koordinator Bidang Ilmiah Pertemuan Nasional (Pernas) AIDS IV, Yanri Subrongto mengatakan tren penularan berubah karena berbagai faktor. Untuk faktor dari pecandu narkoba, saat ini sudah banyak terapi yang telah dilakukan, sehingga banyak dari pecandu yang sudah sembuh. Sementara itu, dari faktor heterokseksual sendiri, belum ada regulasi tentang Pekerja Seks Komersial (PSK).
"PSK bisa pergi ke mana-mana tanpa dibatasi aturan, dan bisa saja membawa virus. Hal inilah yang memicu peningkatan kasus HIV/AIDS," paparnya dalam Konferensi Pers Pertemuan Nasional AIDS IV di Yogyakarta, Rabu(21/9)
Dirinya melanjutkan, kasus HIV/AIDS di Indonesia mengalami peningkatan. Bahkan saat ini, jumlah anak-anak yang sudah positif HIV/AIDS juga makin banyak. Menurutnya, hal ini bisa terjadi karena ibu si anak sudah terlebih dahulu membawa virus tersebut.
Di Yogyakarta sendiri, jumlah pengidap HIV/AIDS pun mengalami kenaikan delapan persen dari tahun lalu. Berdasarkan pernyataan Riswanto, Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS DIY, jumlahnya mencapai 1.363 orang. Kurang lebih 120 orang di antaranya,justru berasal dari luar Yogyakarta.
"Untuk di Yogyakarta sendiri, kasus heteroseksual juga menjadi faktor tertinggi penularan virus. Bahkan, hal ini sudah terjadi pada anak-anak SMP," tambahnya.
Peningkatan kasus HIV di Indonesia,menurut Media Center Pernas AIDS IV, Syaiful W.Harahap disebabkan karena Indonesia tidak memiliki sebuah tes pendeteksi awal.
"Di Malaysia, ada sebuah tes surveillance yang diberlakukan pada semua ibu hamil. Dengan begitu, dari sejak awal,virus HIV sudah bisa diprediksi,"paparnya.
Dari kasus peningkatan HIV/AIDS di Indonesia, menurut Yanri, tak sebatas hanya melakukan terapi untuk proses pencegahannya. Menurutnya perlu ada sebuah sistem kesehatan yang mendukung dengan keterlibatan berbagai pihak yang terkait.
Satu hal yang terpenting lagi, tambahnya, perlu ada edukasi pada masyarakat terkait HIV/AIDS ini. Edukasi bisa dilakukan dengan keterlibatan dokter di masing-masing puskesmas.
"Pemakaian kondom di masyarakat masih rendah. Sejak tahun 2006, tidak lebih dari 20 persen laki-laki yang menggunakannya."
Sejak tahun 2008, tren penularan HIV/AIDS beralih yaitu dari pecandu narkoba menjadi perilaku heteroseksual. Dari perilaku heteroseksual tersebut, jumlah laki-laki positif HIV/AIDS lebih tinggi ketimbang wanita, dengan usia dominan yaitu 20-29 tahun.
Koordinator Bidang Ilmiah Pertemuan Nasional (Pernas) AIDS IV, Yanri Subrongto mengatakan tren penularan berubah karena berbagai faktor. Untuk faktor dari pecandu narkoba, saat ini sudah banyak terapi yang telah dilakukan, sehingga banyak dari pecandu yang sudah sembuh. Sementara itu, dari faktor heterokseksual sendiri, belum ada regulasi tentang Pekerja Seks Komersial (PSK).
"PSK bisa pergi ke mana-mana tanpa dibatasi aturan, dan bisa saja membawa virus. Hal inilah yang memicu peningkatan kasus HIV/AIDS," paparnya dalam Konferensi Pers Pertemuan Nasional AIDS IV di Yogyakarta, Rabu(21/9)
Dirinya melanjutkan, kasus HIV/AIDS di Indonesia mengalami peningkatan. Bahkan saat ini, jumlah anak-anak yang sudah positif HIV/AIDS juga makin banyak. Menurutnya, hal ini bisa terjadi karena ibu si anak sudah terlebih dahulu membawa virus tersebut.
Di Yogyakarta sendiri, jumlah pengidap HIV/AIDS pun mengalami kenaikan delapan persen dari tahun lalu. Berdasarkan pernyataan Riswanto, Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS DIY, jumlahnya mencapai 1.363 orang. Kurang lebih 120 orang di antaranya,justru berasal dari luar Yogyakarta.
"Untuk di Yogyakarta sendiri, kasus heteroseksual juga menjadi faktor tertinggi penularan virus. Bahkan, hal ini sudah terjadi pada anak-anak SMP," tambahnya.
Peningkatan kasus HIV di Indonesia,menurut Media Center Pernas AIDS IV, Syaiful W.Harahap disebabkan karena Indonesia tidak memiliki sebuah tes pendeteksi awal.
"Di Malaysia, ada sebuah tes surveillance yang diberlakukan pada semua ibu hamil. Dengan begitu, dari sejak awal,virus HIV sudah bisa diprediksi,"paparnya.
Dari kasus peningkatan HIV/AIDS di Indonesia, menurut Yanri, tak sebatas hanya melakukan terapi untuk proses pencegahannya. Menurutnya perlu ada sebuah sistem kesehatan yang mendukung dengan keterlibatan berbagai pihak yang terkait.
Satu hal yang terpenting lagi, tambahnya, perlu ada edukasi pada masyarakat terkait HIV/AIDS ini. Edukasi bisa dilakukan dengan keterlibatan dokter di masing-masing puskesmas.
"Pemakaian kondom di masyarakat masih rendah. Sejak tahun 2006, tidak lebih dari 20 persen laki-laki yang menggunakannya."
OLEH OLIVIA LEWI PRAMESTI | 21-09-2011 | http://ngi.cc/nwz | KESEHATAN
1. Bahasa Indonesia yang baik dan benar dan contoh fungsi bahasa sebagai alat komunikasi
Penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar ialah : penggunaan ragam bahasa yang sekaligus memenuhi persyaratan kebaikan dan kebenaran. Bahasa yang diucapkan bahasa yang baku.
contoh : 1. Tono, pergi kemana kamu ?
2. Maaf.. apa betul di sini kediaman Bapak Hakim
pengucapan kalimat diatas menggunakan bahasa yang baku, tetntunya akan berbeda jika manggunakan bahasa Indonesia yang di pakai dalam berinteraksi sosial di lingkungan masyarakat
contoh 1. Ton, pergi kemana lo ?
2. Maaf, benar gak disini rumahnya Bapak Hakim
2. contoh fungsi bahasa sebagai alat komunikasi
Pada saat kita menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi, kita sudah memiliki tujuan tertentu. Kita ingin dipahami oleh orang lain. Kita ingin menyampaikan gagasan yang dapat diterima oleh orang lain. Kita ingin membuat orang lain yakin terhadap pandangan kita. Kita ingin mempengaruhi orang lain. Lebih jauh lagi, kita ingin orang lain membeli hasil pemikiran kita. Jadi, dalam hal ini pembaca atau pendengar atau khalayak sasaran menjadi perhatian utama kita. Kita menggunakan bahasa dengan memperhatikan kepentingan dan kebutuhan khalayak sasaran kita. atau kita sering mendengar kata komunikatif
contoh : kata KOMPOSISI. bila kita menggunakan kata tersebut kepada anak anak mungkin mereka tidak mengerti misalkan : Komposisi permen itu terdiri dari gula, susu. kalimat tsb menjadi sulit di mengerti oleh anak anak, sehingga kata komposisi jika diganti menjadi Bahan pembuatan, kandungan
contoh : 1. Tono, pergi kemana kamu ?
2. Maaf.. apa betul di sini kediaman Bapak Hakim
pengucapan kalimat diatas menggunakan bahasa yang baku, tetntunya akan berbeda jika manggunakan bahasa Indonesia yang di pakai dalam berinteraksi sosial di lingkungan masyarakat
contoh 1. Ton, pergi kemana lo ?
2. Maaf, benar gak disini rumahnya Bapak Hakim
2. contoh fungsi bahasa sebagai alat komunikasi
Pada saat kita menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi, kita sudah memiliki tujuan tertentu. Kita ingin dipahami oleh orang lain. Kita ingin menyampaikan gagasan yang dapat diterima oleh orang lain. Kita ingin membuat orang lain yakin terhadap pandangan kita. Kita ingin mempengaruhi orang lain. Lebih jauh lagi, kita ingin orang lain membeli hasil pemikiran kita. Jadi, dalam hal ini pembaca atau pendengar atau khalayak sasaran menjadi perhatian utama kita. Kita menggunakan bahasa dengan memperhatikan kepentingan dan kebutuhan khalayak sasaran kita. atau kita sering mendengar kata komunikatif
contoh : kata KOMPOSISI. bila kita menggunakan kata tersebut kepada anak anak mungkin mereka tidak mengerti misalkan : Komposisi permen itu terdiri dari gula, susu. kalimat tsb menjadi sulit di mengerti oleh anak anak, sehingga kata komposisi jika diganti menjadi Bahan pembuatan, kandungan
Langganan:
Postingan (Atom)